NEWS:

  • Sukseskan Moto GP Mandalika, Rivan Purwantono dan Kakorlantas Polri Cek Kesiapan Pengamanan Personel
  • Jasa Raharja Raih Penghargaan Transformasi Layanan Publik dalam Ajang Inovasi Membangun Negeri
  • Jasa Raharja Jamin Seluruh Korban Kecelakaan Bus dan Truk di Pati (Jalur Pantura) 
  • RDP Bersama Komisi VI DPR RI, Rivan A. Purwantono Paparkan Sejumlah Inisiatif Strategis Jasa Raharja 
  • Unmul Kembangkan Wisata Di Kaltim Melalui Storytelling, Gelar FGD Hasil Penelitian

Putusan Mahkamah Konstitusi Perbolehkan Kampanye di Fasilitas Pemerintah dan Tempat PendidikanJAKARTA- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU UU Pemilu) yang diajukan oleh Handrey Mantiri, pada Selasa (15/8/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Para Pemohon mempersoalkan ihwal larangan kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, yang diatur dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu.

“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi, saat mengucapkan amar Putusan Nomor 65/PUU-XXI/2023.

MK dalam amar putusan tersebut juga menyatakan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu sepanjang frasa ”Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selain itu, MK menyatakan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.

Dengan demikian, maka Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, “menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.

Pembatasan Kampanye

Mahkamah dalam pertimbangan hukum putusan yang dibacakan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, adanya pembatasan-pembatasan penyelenggaraan kampanye memiliki landasan rasionalitas yang kuat guna menjaga integritas, transparansi, dan keadilan dalam proses politik. Secara a contrario, kampanye yang tanpa pembatasan berpotensi menimbulkan penyebaran informasi palsu, fitnah, atau manipulasi dalam upaya memengaruhi pemilih.

Pembatasan kampanye dapat membantu mencegah penyebaran informasi yang menyesatkan atau tidak akurat. Selain itu, dalam perspektif peserta pemilu, pembatasan kampanye membantu mempertahankan kesetaraan (equality) dalam pemilu, sehingga semua kandidat memiliki peluang yang setara untuk meraih dukungan.

Pembatasan kampanye dalam pemilu dapat dilakukan dengan cara membatasi waktu pelaksanaan, media yang digunakan, pendanaan, serta lokasi atau tempat tertentu. Dalam perkara a quo, isu permohonan utama adalah terkait dengan pembatasan kampanye di lokasi atau tempat tertentu, yaitu fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

“Menurut Mahkamah, pembatasan kampanye berdasarkan lokasi atau tempatnya adalah didasarkan pada beberapa prinsip penting yang bertujuan untuk menjaga netralitas dan integritas proses pemilu, mencegah gangguan terhadap aktivitas publik pada tempat-tempat tertentu sehingga mampu mempertahankan prinsip keseimbangan dan sekaligus menjaga prinsip netralitas serta untuk menghindari penyalahgunaan penggunaan fasilitas publik,” kata Enny.

Kampanye di Tempat Ibadah

Tempat ibadah merupakan salah satu tempat yang dilarang digunakan untuk tempat kampanye  oleh Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu. Dalam konteks ini, penting untuk menghormati sensitivitas dan nilai-nilai budaya, agama, dan kebebasan beragama dalam konteks kampanye pemilu. Meskipun kampanye politik adalah bagian penting dari proses demokrasi, namun harus diatur batasan-batasan sedemikian rupa agar tidak merusak keharmonisan dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat.

Tempat ibadah memiliki makna dan nilai spiritual yang tinggi bagi setiap umat beragama. Menggunakan tempat ibadah sebagai tempat kampanye berpotensi memicu emosi dan kontroversi serta merusak nilai-nilai agama. Terlebih lagi, apabila diletakkan pada situasi dan kondisi masyarakat yang semakin mudah terprovokasi dan cepat bereaksi pada isu-isu yang berkaitan dengan politik identitas, etnis, dan agama tanpa merujuk dan menilai fakta yang objektif berpotensi memperdalam polarisasi politik di tengah banyaknya narasi dan opini yang berbeda terhadap fakta yang sama yang dapat bermuara pada melemahnya kohesi sosial.

“Dalam hal ini, pembatasan penggunaan tempat ibadah untuk berkampanye tidaklah berarti adanya pemisahan antara agama dengan institusi negara, namun lebih kepada proses pembedaan fungsi antara institusi keagamaan dengan ranah di luar agama dalam masyarakat terutama untuk masalah yang memiliki nilai politik praktis yang sangat tinggi,” lanjut Enny membacakan pertimbangan hukum.

Pengaturan Larangan Kampanye

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih lebih lanjut dalam pertimbangan hukum putusan mengatakan, berdasarkan telaahan historis pengaturan larangan kampanye untuk menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan telah diatur, paling tidak sejak era reformasi. Bahkan, telah pula diatur sanksi pidana jika terjadi pelanggaran atas larangan tersebut.

Namun, jika dicermati secara saksama norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang mengutip kembali norma Pasal 299 UU 8/2012 yang sama-sama menentukan larangan bagi pelaksana, peserta dan tim kampanye untuk melakukan kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Bahkan, terhadap larangan dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 tersebut ditentukan sanksi yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah. Ketentuan pidana ini pun mengutip kembali rumusan yang diatur dalam Pasal 299 UU 8/2012.

Masalahnya, apakah sanksi pidana tersebut dapat diterapkan secara efektif karena dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 ditentukan adanya unsur pengecualian atas norma larangan bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Selanjutnya, dijelaskan pula yang dimaksud dengan “tempat pendidikan” adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi.

Berkenaan dengan adanya pengecualian dalam Penjelasan suatu undang-undang di luar norma pokok yang telah ditentukan, Mahkamah merujuk ketentuan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimuat dalam butir 176 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Ketentuan teknis tersebut telah memberikan panduan atau pedoman dalam merumuskan penjelasan, pengertian dan sekaligus fungsi penjelasan adalah sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan merupakan sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh yang tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Tidak hanya itu, butir 178 Lampiran II UU 12/2011 juga telah menentukan bahwa “penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Menurut Mahkamah, perumusan norma pengecualian tersebut seharusnya diletakkan sebagai bagian norma batang tubuh UU Pemilu karena merupakan bagian dari pengecualian atas larangan kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu. Mahkamah menyadari, dalam konteks kampanye pemilu, fasilitas pemerintah atau tempat pendidikan masih mungkin untuk digunakan. Namun, karena kedua tempat tersebut dilarang sehingga Mahkamah perlu memasukkan sebagian dari pengecualian sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu. Pemuatan ke dalam norma pokok tersebut didasarkan pada ketentuan UU 12/2011, di mana penjelasan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma, terlebih lagi jika penjelasan tersebut bertentangan dengan norma pokok.

“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, penting untuk memasukkan sebagian dari esensi penjelasan tersebut menjadi bagian dari pengecualian atas norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sehingga pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dapat menggunakan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye,” tandas Enny dalam pertimbangan hukum putusan.

Sumber: mkri.id. Tafsir MK Ihwal Pelarangan Tempat Kampanye Pemilu. Publikasi. Selasa, 15 Agustus 2023 waktu 17:41 WIB

Warta Kaltim @2023-Jul

Berita Lainnya...

NEXT

WARTA UPDATE

« »